Fake followers and how to identify them

Influencer Marketing is a huge industry with impressive advertising budgets, hundreds of thousands of bloggers and advertisers, and an entire army of agencies, offering their services. Therefore…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Mengenal Rasa Cukup

Tidak bisa dibantah kalau manusia selalu ingin yang lebih. Mungkin ini bukan sepenuhnya diri dan akal sehatnya yang berbicara keras, melainkan ego yang mendorong kemauan yang lebih dalam hidup. Entah kehidupan yang lebih nyaman dari yang sekarang, pertemanan yang lebih nyaman dari yang sekarang, uang yang lebih banyak dari yang sekarang, rumah yang lebih besar, anjing yang lebih penurut, dan masih banyak lagi. Ini dapat dikatakan penyakit yang mengakar di dalam masyarakat kita. Masyarakat serakah yang selalu ingin lebih. Tanpa disadari, kemauan akan sesuatu yang ‘lebih' selalu berakhir dengan kita menyakiti seseorang bahkan diri kita sendiri di dalam perjalanan mencapainya.

Memang benar, kita manusia perlu meningkatkan kapasitas atau value diri kita dalam bentuk pikiran dan batin. Kapasitas diri kita dapat disebut baik ketika kita dapat memakainya untuk kebaikan, tidak hanya untuk diri sendiri, melainkan juga orang lain. Apa gunanya nilai kita ketika kita masih belum baik ke orang lain. Kalau seseorang berpikir, “Karena ilmuku yang paling sempurna dan cara kerjaku yang paling sempurna, maka aku layak mendapatkan uang yang paling banyak, bahkan kalian berhak memberi uang kalian itu kepadaku, karena aku yang berhak. Aku yang memiliki nilai sempurna dan kalian tidak.” Apakah dengan kapasitasnya yang sempurna itu seorang ini dapat dikatakan baik? Semua itu hanya untuk kepentingan memperkaya dirinya karena dia merasa dia layak dan yang paling sempurna dari antara lainnya.

“Seorang yang pintar adalah seorang yang baik.”

Mungkin begitulah kalimat pendek yang masih membekas di kepalaku. Seseorang belum dapat dikatakan pintar ketika ia masih menggunakan keahliannya yang sempurna hanya untuk dirinya seorang dan tak memperdulikan dampaknya pada orang lain. Toh, dia belum dapat berpikir apa dampak yang akan ia timbulkan ketika ia memakai keahliannya hanya untuk dirinya seorang. Kerugian dan penderitaan yang mungkin dapat dialami orang sekitarnya belum dapat ia pahami dengan jelas. Selayaknya orang pintar, ia sudah seharusnya tau dampak baik dan buruk dari suatu tindakan yang akan ia lakukan. Maka dari itu, sudah sepantasnya hal baiklah yang seharusnya dia lakukan!

Kita seringkali lupa jika seumpama kita mendapatkan sesuatu yang lebih maka kita pun menambah tanggung jawab yang harus kita tanggung. Taruhlah seorang karyawan di perusahaan yang berharap, “coba saja aku jadi bosnya, pasti aku sudah kaya, duit ku banyak dan aku pun tak perlu banyak bekerja.” Inilah kenyataan pahitnya. Bos memegang tanggung jawab yang sangat besar dan betul dia dibayar melebihi si karyawan. Si bos perlu menjaga kestabilan perusahaannya agar perusahaannya tidak bangkrut, dia harus mengelola data semua bawahannya agar meminimalisir yang cacat. Ia pun harus sibuk dan melakukan pertemuan di banyak tempat dan waktu untuk bertemu dengan para petinggi lain. Belum lagi, keluarga si bos yang harus dengan ikhlas merelakan seorang figur bapak di dalam keluarga karena tidak memiliki waktu yang cukup banyak mengurusi rumah tangganya. Bagaimana perasaan si anak yang sangat jarang bertemu dan kenal baik dengan ayahnya? dipikir pikir….apakah mereka memiliki hubungan yang baik? Sang anak mungkin dapat meminta dengan mudah apa saja yang dapat dibeli dengan uang. Tapi kasih, cinta, dan perhatian dari seorang bapak yang sekaligus menjabat sebagai bos ini? mungkin perlu dipertanyakan.

Begitulah kenyataannya, kita lebih sering memikirkan hal yang enaknya saja jika kita mencapai atau mendapatkan sesuatu. Kita seringkali lupa untuk menemukan dan mengingatkan arti cukup bagi kehidupan pribadi kita. Apa yang benar benar kita mau dan butuhkan pada saat ini? Hal apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan itu?

Aku percaya jika memang sesuatu itu cukup, kita pasti akan selalu ‘survive' pada akhirnya. Kita pun tidak akan mudah terusik dengan apapun yang ada dari luar kita, entah ini kehidupan yang orang lain jalani, hubungan romansa yang ‘seharusnya’ kata orang, perihal sukses kata orang, hal hal yang entah bagaimana diterima di dalam masyarakat. Jujur, aku pun bingung hal apa yang harus aku beri tahu agar kita dapat menemukan jawaban apa yang cukup bagi kita saat ini. Jawaban setiap orang pastilah berbeda, tentu dengan kemauan yang berbeda pula.

Mungkin beberapa hal yang aku jadikan cara untuk menemukan rasa cukup itu adalah:

Tidak perlu terburu buru, bahkan aku pun masih menemukan apa yang cukup bagiku dalam banyak hal. Apapun yang kamu inginkan, jangan pernah kamu bandingkan dengan keinginan maupun kepunyaan orang lain. Pada dasarnya, kecukupan setiap orang berbeda, jadi tetap cari makna cukup itu untuk kamu seorang, sesuatu yang kamu anggap benar benar penting. Mungkin itu yang entah bagaimana otak ku bekerja malam ini, terima kasih yang sudah membaca sampai sini. Jangan pernah nyerah yah sama hidup, sehat sehat manusia baik😊😊

Add a comment

Related posts:

Keeping with market conditions

The Dow tumbled through more than 280 factors following United States President Donald Trump’s declaration that the alternate address China may be not on time till after the 2020 elections. On that…

Change the Way

Change for the sake of change, or is there something else?. “Change the Way” is published by Agnes Laurens in ILLUMINATION’S MIRROR.